
Masa Depan Industri Tembakau Indonesia
Repost - agri.kompas.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Tembakau telah lama menjadi bagian penting dari sejarah pertanian dan budaya nasional. Sebagai komoditas padat karya, tercatat sekitar 2,3 juta keluarga petani menggantungkan hidup pada komoditas ini, dengan lahan garapan seluas kurang lebih 200.000 hektar.
Pada 2023, produksi daun tembakau nasional mencapai sekitar 238.800 ton (BPS, 2024), menjadikan Indonesia salah satu penghasil utama dunia dengan kontribusi sekitar 4,2 persen terhadap total produksi global. Sebagian besar, yakni hampir 99,6 persen dari produksi tersebut, berasal dari perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah.
Peran tembakau dalam menopang perekonomian pedesaan sangat signifikan, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja maupun dalam menjaga sirkulasi ekonomi lokal. Oleh karena itu, tembakau bukan hanya sekadar komoditas ekonomi. Tetapi juga simbol mata pencaharian dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun di banyak daerah.
Kontribusi Industri Tembakau
Dari sisi ekonomi, tembakau memberikan sumbangsih signifikan. Penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2023 mencapai sekitar Rp 213,48 triliun, dan pada 2024 diproyeksikan naik lagi. Di sisi lain, nilai ekspor daun tembakau (tidak termasuk rokok olahan) tercatat sekitar Rp 3,28 triliun pada 2023.
Menurut data Kementerian Perindustrian, sektor ini menyumbang 4,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Angka yang mencerminkan besarnya peran industri tembakau dalam dinamika ekonomi. Selain penerimaan negara, industri tembakau juga padat karya; rantai pasoknya melibatkan jutaan pekerja dari hulu ke hilir.
Dengan kontribusi melalui cukai, pajak, dan ekspor, tembakau menjadi pilar ekonomi yang tidak boleh diabaikan. Terutama di daerah-daerah penghasil seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah. Meskipun demikian, dominasi produksi oleh petani kecil yang menanam tembakau arang, tembakau sintren, atau tembakau keriting, menuntut perhatian khusus.
Perokok lokal pun melekat kuat dalam budaya Indonesia. Misalnya, tembakau Deli, tembakau Temanggung, dan tembakau Madura kerap dijadikan unggulan untuk cerutu dan kretek premium. Dengan kekayaan varietas lokal, Indonesia tetap salah satu produsen tradisional terbesar dunia. Namun, warisan ini harus dijaga dengan inovasi agar tidak kehilangan relevansi di era modern.
Berbagai Tantangan
Kini industri tembakau menghadapi tantangan serius yang kompleks. Perubahan iklim global menciptakan cuaca ekstrem, mengganggu pola tanam tradisional dan menurunkan produktivitas Fluktuasi harga komoditas dunia membuat petani rentan terhadap ketidakpastian pendapatan.
Sementara itu, regulasi kesehatan yang semakin ketat, baik di dalam negeri maupun internasional, memengaruhi permintaan. Misalnya, tekanan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan kampanye antirokok yang masif telah membatasi pasar dan menurunkan minat merokok di banyak negara.
Ketentuan kesehatan baru, seperti larangan tambahan bahan adiktif dan potensi plain packaging, juga mengancam kelangsungan kreasi lokal yang selama ini berakar kuat.
Di era digital, muncul pula substitusi berupa produk vape dan e-cigarette. Peralihan konsumsi generasi muda ke rokok elektrik menimbulkan implikasi ganda: meredam permintaan tembakau konvensional dan mengikis basis cukai negara. Tren ini juga menimbulkan risiko baru, karena regulasi terhadap vape di Indonesia belum sejelas rokok tradisional.
Padahal, selain menimbulkan persoalan kesehatan baru, peredaran produk ilegal (tanpa cukai) juga mengikis lahan pasar tembakau legal. Di tingkat produksi, efisiensi budidaya tembakau kita relatif rendah. Produktivitas rata-rata nasional sekitar 1.124 kg per hektare (bandingkan dengan 3.189 kg/ha di Italia), menunjukkan masih banyak ruang peningkatan.
Proses pascapanen yang masih manual dan teknik pengolahan tradisional menyebabkan kualitas daun sering kali menurun. Keterbatasan infrastruktur pengeringan dan penyimpanan juga mengakibatkan kerugian mutu.
Hilirisasi dan Inovasi Nilai Tambah
Untuk menyongsong masa depan, industri tembakau Indonesia perlu melakukan hilirisasi dan diversifikasi produk. Pengembangan pabrik pengolahan hulu-hilir tembakau harus diperkuat, sehingga nilai tambah tidak hanya berhenti di daun kering.
Salah satu peluang besar adalah menambah jenis produk non-rokok. Misalnya, penelitian dan pengembangan tembakau untuk keperluan farmasi dan kesehatan (seperti ekstraksi nikotin untuk terapi, atau protein antitumor dari senyawa tembakau) sedang digarap.
Secara serupa, industri pestisida nabati dari tembakau memiliki potensi menjanjikan. Kelompok tani di Indonesia seperti Tani Punik Mitra telah berhasil memanfaatkan limbah batang tembakau menjadi bio-oil insektisida berbasis nikotin.
Larutan nikotin alami ini ampuh mengendalikan hama tanaman dan merupakan contoh konkret bagaimana produk tembakau bisa diolah kembali menjadi panganan baru ekonomi. Diversifikasi ke produk lain juga mencakup pemanfaatan gliserol tembakau untuk esensi rokok elektrik berizin atau pembuatan pupuk organik.
Pemerintah dan peneliti sudah menyoroti peluang tembakau sebagai bahan baku organik dalam pupuk atau pakan ternak setelah fermentasi, sehingga sebagian limbah petani bisa dimaksimalkan.
Inovasi seperti penggunaan vermikompos (pupuk fermentasi cacing) telah terbukti meningkatkan hasil panen sekaligus menjaga kesuburan lahan. Dengan metode ini, petani dapat mereduksi biaya pupuk kimia dan memelihara ekosistem lahan tembakau.
Selain itu, pengembangan varietas unggul menjadi kunci menaikkan daya saing. Hasil riset pertanian secara konsisten menghasilkan bibit tembakau baru yang tahan penyakit dan produktivitas tinggi.
Contoh di lapangan adalah varietas Kemloko 2 dan 3 di Temanggung – hasil persilangan Sindoro 1 dan Cooker 51 – yang secara empiris menunjukkan produktivitas hingga 0,65–0,7 ton/ha dalam kondisi lahan kering. Varietas lanjutan seperti Prancak T1 dan T2 juga tengah diuji dengan hasil awal positif, yaitu tanaman lebih tahan cuaca kering dan serangan penyakit.
Kemitraan Berkelanjutan
Menjawab tantangan sekaligus memanfaatkan peluang membutuhkan kerjasama erat antarpemangku kepentingan. Pemerintah, petani, dan industri rokok harus membangun kemitraan berkelanjutan yang saling menguntungkan.
Pemerintah diharapkan memperkuat kebijakan yang mendukung peningkatan nilai tambah tembakau. Misalnya, memberikan insentif hilirisasi, mempercepat proses registrasi varietas unggul, serta mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan dan pupuk organik.
Penerapan kebijakan cukai yang berkeadilan juga penting agar industri legal tembakau tetap kompetitif dan petani memperoleh harga wajar.
Di sisi lain, pelaku industri perlu berinvestasi pada fasilitas pengolahan hulu–hilir dan program pendampingan teknis untuk petani. Asosiasi petani dan industri juga bisa berperan sebagai advokat bersama, mengomunikasikan pentingnya tembakau bagi ekonomi bangsa.
Sebagaimana disarankan para ahli, perlu roadmap industri tembakau 2026–2029 yang inklusif, yang mengharmonisasi aspek kesehatan, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi agar kebijakan berikutnya tidak keliru sasaran.
Ke depan, masa depan tembakau Indonesia harus diarahkan untuk terus menjadi pilar ekonomi sekaligus warisan budaya, namun dengan tata kelola yang lebih bijak dan inovatif. Industri tembakau tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga identitas budaya dan pemantik lapangan kerja di daerah.
Oleh karena itu, kita perlu melihat tembakau bukan sekadar tanaman masa lalu, melainkan aset masa depan melalui kolaborasi, inovasi, dan nilai tambah tinggi serta berdaya saing global.